BERBAUR TUNTAS LEWAT ISLAM
Oleh : Ridwan Saidi
Saya
mengenal Pak Junus Jahja sekitar tahun 1972-1974, ketika itu saya mejabat
sebagai Ketua IPB HMI pada periode kepengurusan Akbar. Pertemuan dengan Pak
Junus adalah pada suatu kesempatan dimana Badan Pembina Kesatuan Bangsa, DKI
Jakarta mengadakan pertemuan di Gedung DKI. Sebelumnya nama Junus Jahja
telah saya dengar dan ketahui lewat brosur-brosur tentang kesatuan bangsa.
Pada
pertemuan di gedung DKI itu Pak Junus ditemani oleh seorang yang bertubuh kurus
dan kecil, senyumnya hampir selebar wajahnya, dialah Sudrajat Brotokuncoro. Selama
lebih dari satu dasawarsa Pak Junus dan Drajat, begitu biasa dia dipanggil,
sangat akrab laksana “kuwali dan kekep”, dimana ada Pak Junus disitu ada
Drajat. Sayapun, setelah pertemuan di DKI, menjadi akrab dengan dua sahabat
tersebut. Dimata saya, Junus Jahja adalah orang yang tidak merasa letih
berbicara tentang pembauran bangsa. Perhatiannya tentang proses pembauran non
pri ke dalam totalitas masyarakat Indonesia melebihi urusan pribadinya sendiri.
Selama Windu I, delapan tahun pertama, berkenan dengan Junus jahja saya tidak
pernah berbicara tentang kehidupan pribadinya karena Pak Junus sendiri tidak
pernah membukakan pintu untuk itu. Saya tidak tahu apakah PakJunus itu bujangan
tua atau duda, juga saya tidak tahu apa sesungguhnya agama Pak Junus, tapi
jelas ketika itu ia belum memeluk Islam.
Setiap kali
kami bertemu selalu yang menjadi pembahasan adalah bagaimana secara kongkrit
menyusun dan melaksanakan program yang menunjang proses pembauran bangsa. Pak
Junus jarang sekali berbicara tentang penyebab kurang mantabnya
pembauran bangsa. Ia lebih cenderung berbicara tentang solusi teknisnya.
Kami sering
sekali berjalan berdua ke Tanjung Priok menemui kartunis Jhony Hidayat AR untuk
membuat bersama komik pembauran. Saya yang merancang naskah, Pak Junus memberi
arahan, Jhony yang meng-komik-kannya. Saya sudah lupa entah berapa edisi komik
pembauran yang telah berhasil kami pubilkasikan. Lewat artikel ini saya ingin
mengimbau kepada siapa saja yang masih menyimpan naskah komik tersebut untu
secara ikhlas dapat meyerahkannya kepada Pak Junus untuk dokumentasi. Saya dan
Pak Junus sudah tidak memiliki komik yang bersejarah itu.
Terbentuknya
Bakom-PKB
Kesan dari
luar Pak Junus adalah seorang praktisi pembauran, bahkan dapat juga dikatakan
sebagai pekerja pembauran. Hal-hal yang teoritik tentang pembauran, maka Pak
Junus menjadi pendengar budiman. Tetapi semangatnya berkobar-kobar bila
berbicara, atau tepatnya, merancang desain project pelaksanaan pembauran.
Pada suatu
hari ditahun 1979 Pak Juns berkunjung ke rumah saya di Taman Sari IC, Sawah
Besar. Tangannya memegang sehelai naskah, entah apa isinya. Begitu saya
silahkan duduk ia langsung meyodorkan naskah tersebut, “Bung Ridwan baca ini
naskah, kalau oke tulung supaya diteken”. Rupanya naskah itu berisi piagam
berdirinya Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa, kemudian hari
disingkat menjadi Bakom-PKB. Saya lihat beberapa tokoh telah menandatangani
naskah tersebut. Saya sadar belaka bahwa Pak Junus berada dibalik rencana
tersebut.
“Jadi, badan
ini mau kita aktifkan?” saya bertanya.
“Ia dong,
habis BPKB DKI terlalu lokal, kita ingin badan yang menusantara,” kata Pak
Junus.
Memang Bakom
bergerak cepat. Sebuah pertemuan digelar untuk melengkapi susunan pengurus.
Program kerja juga dibuat, antara lain ceramah-ceramah umum ke massa
grass root, meminjam istilah Pak Junus.
Pada awal
tahun tahun 1980-an kesibukan saya selaku anggota DPR RI makin meningkat,
jarang-jarang sudah saya bertemu dengan Pak Junus, sayapun jarang membuat
kontak dengan Drajat, sehingga saya tidak tahu kabar apa-apa mengenai Pak
Junus. Sehingga pada suatu hari saya terkejut berat membaca berita bahwa tokoh
pembauran Drs.Junus Jahja memeluk agama islam, kalau saya tidak salah ingat
peristiwa itu disaksikan oleh Buya Hamka. Saya mencoba mengontak Pak Junus dan
Drajat. Drajat menceritakan panjang lebar tentang masuk islamnya Pak Junus.
Selama satu
windu saya bergaul erat dengan Pak Junus sama sekali tidak “engah”, atau
“mendusin”, kalau Pak Junus itu tertarik pada Islam. Seperti saya kemukakan tadi
bahwa selama dalam pergaulan dengan Pak Junus saya tidak dapat celah untuk
berbicara tentang agama yang dipeluknya. Juga saya tidak ingin menanyakan soal
yang peka ini. Ternyata selama itu Pak Junus sedang meyimak Islam, ia sedang
mengobseeervasi Islam.
Saya
mendapat kesan bahwa Pak Junus masuk Islam adalah hidayah Allah S.W.T., tetapi
tampaknya Pak Junus juga merenung bahwa hanya Islamlah yang dapat mempercepat
proses pembauran WNI keturunan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang
beragama Islam. “Apa lagi yang mau dipersoalkan kalau mereka sudah beragama
Islam,” begitu Pak Junus biasa berkata.
Jalan Lautze
Yang saya
ikuti “markass” gerakan pembauran berpindah beberapa kali, pertama di daerah
Boplo, Gondangdia, lalu ke Mangga Besar, dan terakhir ke Jalan Lautze, Jakarta
Pusat. Pak Junus sering sekali ke Jalan Lautze, hanya saja Drajat sudah tidak
kelihatan lagi. Saya mendengar kabar ia telah menjadi orang bisnis kelas kakap.
Yang membantu kegiatan Pak Junus di “markas” Lautze adalah Saudari Ana. Dan
Mevrouw Junus juga giat membantu aktifitas di Lautze. Dalam periode Lautze saya
sering bepergian dengan Pak Junus ke Muara Karang untuk membeli buku-buku tua.
Pak Junus tampaknya bukan sekedar praktisi, dia juga suka berdiskusi tentang
rupa-rupa topik. Saya kiradari dulu juga dia mempunyai hasrat yang kuat untuk
berdiskusi secara intelektual tentang pelbagai tema bahasan. Namun konsentrasi
dia selama itu adalah mencari dan menemukan format gerakan pembauran di
Indonesia yang setepat-tepatnyanya. Setelah format itu ia temukan, yaitu
berbaur tuntas lewat Islam, maka Pak Junus telah melewati periode ekperimen. Ia
kini memasuki periode pemantapan pola kerja. Untuk itu ia memerlukan sarana dan
orang-orang yang dipersiapkan sebagai kader.
Suatu hari
Pak Junus memberi kabar kepada saya bahwa “markas” Lautze akan menjadi mesjid.
Saya kaget bukan kepalang, tapi itu suatu fakta. Maka shalat Jumat pertama pun
dipersiapkan, dan saya diminta untuk menjadi khatib yang pertama. Sementara itu
pada shalat Jumat pertama itu saya melihat “kader” Pak Junus sudah mulai
muncul seperti Ali Karim, Linggo, dan Syarif.
Masjid
Lautze diperluas, kegiatan makin beragam, kader juga makin banyak. Saya makin
jarang datang ke Lautze karena lalu lintas di Jakarta makin macet,
kadang-kadang timbul rasa enggan bepergian jauh dari rumah. Tetapi kontak per
tilpon dengan Pak Junus masih tetap berlangsung. Saya bergembira bahwa pada
usia Pak Junus yang ke-70 apa yang disemainya sejak awal tahun 1950an kini
mulai berputik dan berbuah. Semoga Allah memberi usia yang panjang kepadanya,
serta keberkahan senantiasa menyertainya.
Jakarta, 23 Ramadhan 1417H