05 Juni 2014

BUKU : ZAMAN HARAPAN BAGI KETURUNAN TIONGHOA




Drs.H.Yunus Yahya alumni ekonom Roterdam dan H.R.Soedrajat Brotokuncoro – islamisasi asimilasi kedua-duanya menyatu dalam rangka membuat buku bersejarah yaitu Zaman Harapan Bagi Keturunan Tionghoa

Assalamu’alaikum wr.wb.

ZAMAN HARAPAN BAGI KETURUNAN TIONGHOA, demikian judul sambutan Buya Hamka dalam brosur “Asimilasi dan Islam” pada tanggal 15 Juni 1981, sekitar 5 minggu sebelum beliau wafat (24 Juli). Brosur tersebut memuat karangan-karangan dalam media massa antara tahun 1979-1981 mengenai : 

     - Sebab musabab seorang masuk Islam
     - Langkah-langkah yang diharapkan setelah seorang keturunan Tionghoa masuk islam
     - Identitas, watak dan kepribadiannya selanjutnya
     - Aneka  pandangan dan penilaian masyarakat luas
     - Aspek-aspek yang bersifat “human interest”.

Kini, dirasakan bahwa perhatian terhadap hal diatas meluas. Dan buku semacam brosur termasuk nampaknya perlu diterbitkan lagi. Sebab selama 5 tahun terakhir 1979-1984 dahwah Islamiyah dikalangan keturunan Tionghoa ditanah air kita prospeknya makin cerah.

Dalam sambutan diatas, Buya dengan gayanya yang khas antara lain “berkeyakinan, bahwasanya saudara-saudara itu memeluk agama Islam adalah sejarah baru dalam Republik kita Indonesia”.  Dan tercetuskanlah ramalan dan visi beliau bahwa fajar telah menyingsing dan kita  menghadapi ZAMAN HARAPAN BARU BAGI KETURUNAN TIONGHOA di Indonesia. Satu dan lain didasarkan pula atas Statement Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal 10 Desember 1980 yang kalimat-kalimat akhirnya sebagai berikut :

“Mengenai sikap umat Islam terhadap asimilasi atau pembauran, hal itu bukanlah sesuatu yang baru. Islam tidak membeda-bedakan asal usul, ras maupun keturunan seseorang. Dan kehidupan sehari-hari menunjukkan, bahwa orang-orang  Indonesia keturunan Tionghoa yang memeluk agama Islam diterima oleh rakyat dengan baik sehingga terbaur dngan sendirinya secara tuntas.”

Buku ini hanya kompilasi atau rekaman kejadian dan tinjauan yang pernah di liput oleh media massa dalam kurun waktu 5 tahun 1979-1984. Semacam seleksi “bunga rampai” kronologis tahun demi tahun yang sekiranya bermanfaat bagi mereka yang tertarik pada hal ihwal dan perkembangan “ sejarah baru dalam Republik kita” Indonesia ini.
 
Kemudian, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu bagi terlaksananya penerbitan ini. Khususnya kepada kawan seperjuangan H.Sudradjat Brotokuncoro yang telah mencurahkan begitu banyak waktu dan pemikirannya. AkhirulZkata, bila dalam penyuntingan ini ada hal-hal yang kurang berkenan dihati sidang pembaca yang terhormat, kami mohon dimaafkan seikhlas-ikhlasnya.



Wabilahit Taufik Walhidayah,



Jakarta, 1 Maret 1984
H.Junus Jahja


BERBAUR TUNTAS LEWAT ISLAM



BERBAUR TUNTAS LEWAT ISLAM
Oleh : Ridwan Saidi


Saya mengenal Pak Junus Jahja sekitar tahun 1972-1974, ketika itu saya mejabat sebagai Ketua IPB HMI pada periode kepengurusan Akbar. Pertemuan dengan Pak Junus adalah pada suatu kesempatan dimana Badan Pembina Kesatuan Bangsa, DKI Jakarta mengadakan pertemuan di Gedung  DKI. Sebelumnya nama Junus Jahja telah saya dengar dan ketahui lewat brosur-brosur tentang kesatuan bangsa.

Pada pertemuan di gedung DKI itu Pak Junus ditemani oleh seorang yang bertubuh kurus dan kecil, senyumnya hampir selebar wajahnya, dialah Sudrajat Brotokuncoro. Selama lebih dari satu dasawarsa Pak Junus dan Drajat, begitu biasa dia dipanggil, sangat akrab laksana  “kuwali dan kekep”, dimana ada Pak Junus disitu ada Drajat. Sayapun, setelah pertemuan di DKI, menjadi akrab dengan dua sahabat tersebut. Dimata saya, Junus Jahja adalah orang yang  tidak merasa letih berbicara tentang pembauran bangsa. Perhatiannya tentang proses pembauran non pri ke dalam totalitas masyarakat Indonesia melebihi urusan pribadinya sendiri. Selama Windu I, delapan tahun pertama, berkenan dengan Junus jahja saya tidak pernah berbicara tentang kehidupan pribadinya karena Pak Junus sendiri tidak pernah membukakan pintu untuk itu. Saya tidak tahu apakah PakJunus itu bujangan tua atau duda, juga saya tidak tahu apa sesungguhnya agama Pak Junus, tapi jelas ketika itu ia belum memeluk Islam.

Setiap kali kami bertemu selalu yang menjadi pembahasan adalah bagaimana secara kongkrit menyusun dan melaksanakan program yang menunjang proses pembauran bangsa. Pak Junus jarang sekali berbicara tentang penyebab kurang mantabnya pembauran bangsa. Ia lebih cenderung berbicara tentang solusi teknisnya.

Kami sering sekali berjalan berdua ke Tanjung Priok menemui kartunis Jhony Hidayat AR untuk membuat bersama komik pembauran. Saya yang merancang naskah, Pak Junus memberi arahan, Jhony yang meng-komik-kannya. Saya sudah lupa entah berapa edisi komik pembauran yang telah berhasil kami pubilkasikan. Lewat artikel ini saya ingin mengimbau kepada siapa saja yang masih menyimpan naskah komik tersebut untu secara ikhlas dapat meyerahkannya kepada Pak Junus untuk dokumentasi. Saya dan Pak Junus sudah tidak memiliki komik yang bersejarah itu.

Terbentuknya Bakom-PKB

Kesan dari luar Pak Junus adalah seorang praktisi pembauran, bahkan dapat juga dikatakan sebagai pekerja pembauran. Hal-hal yang teoritik tentang pembauran, maka Pak Junus menjadi pendengar budiman. Tetapi semangatnya berkobar-kobar bila berbicara, atau tepatnya, merancang desain project pelaksanaan pembauran.

Pada suatu hari ditahun 1979 Pak Juns berkunjung ke rumah saya di Taman Sari IC, Sawah Besar. Tangannya memegang sehelai naskah, entah apa isinya. Begitu saya silahkan duduk ia langsung meyodorkan naskah tersebut, “Bung Ridwan baca ini naskah, kalau oke tulung supaya diteken”. Rupanya naskah itu berisi piagam berdirinya Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa, kemudian hari disingkat menjadi Bakom-PKB. Saya lihat beberapa tokoh telah menandatangani naskah tersebut. Saya sadar belaka bahwa Pak Junus berada dibalik rencana tersebut.

“Jadi, badan ini mau kita aktifkan?” saya bertanya.

“Ia dong, habis BPKB DKI terlalu lokal, kita ingin badan yang menusantara,” kata Pak Junus.

Memang Bakom bergerak cepat. Sebuah pertemuan digelar untuk melengkapi susunan pengurus. Program  kerja juga dibuat, antara lain ceramah-ceramah umum ke massa grass root, meminjam istilah Pak Junus.

Pada awal tahun tahun 1980-an kesibukan saya selaku anggota DPR RI makin meningkat, jarang-jarang sudah saya bertemu dengan Pak Junus, sayapun jarang membuat kontak dengan Drajat, sehingga saya tidak tahu kabar apa-apa mengenai Pak Junus. Sehingga pada suatu hari saya terkejut berat membaca berita bahwa tokoh pembauran Drs.Junus Jahja memeluk agama islam, kalau saya tidak salah ingat peristiwa itu disaksikan oleh Buya Hamka. Saya mencoba mengontak Pak Junus dan Drajat. Drajat menceritakan panjang lebar tentang masuk islamnya Pak Junus.

Selama satu windu saya bergaul erat dengan Pak Junus sama sekali tidak “engah”, atau “mendusin”, kalau Pak Junus itu tertarik pada Islam. Seperti saya kemukakan tadi bahwa selama dalam pergaulan dengan Pak Junus saya tidak dapat celah untuk berbicara tentang agama yang dipeluknya. Juga saya tidak ingin menanyakan soal yang peka ini. Ternyata selama itu Pak Junus sedang meyimak Islam, ia sedang mengobseeervasi Islam.
Saya mendapat kesan bahwa Pak Junus masuk Islam adalah hidayah Allah S.W.T., tetapi tampaknya Pak Junus juga merenung bahwa hanya Islamlah yang dapat mempercepat proses pembauran WNI keturunan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam. “Apa lagi yang mau dipersoalkan kalau mereka sudah beragama Islam,” begitu Pak Junus biasa berkata.

Jalan Lautze

Yang saya ikuti “markass” gerakan pembauran berpindah beberapa kali, pertama di daerah Boplo, Gondangdia, lalu ke Mangga Besar, dan terakhir ke Jalan Lautze, Jakarta Pusat. Pak Junus sering sekali ke Jalan Lautze, hanya saja Drajat sudah tidak kelihatan lagi. Saya mendengar kabar ia telah menjadi orang bisnis kelas kakap. Yang membantu kegiatan Pak Junus di “markas” Lautze adalah Saudari Ana. Dan Mevrouw Junus juga giat membantu aktifitas di Lautze. Dalam periode Lautze saya sering bepergian dengan Pak Junus ke Muara Karang untuk membeli buku-buku tua. Pak Junus tampaknya bukan sekedar praktisi, dia juga suka berdiskusi tentang rupa-rupa topik. Saya kiradari dulu juga dia mempunyai hasrat yang kuat untuk berdiskusi secara intelektual tentang pelbagai tema bahasan. Namun konsentrasi dia selama itu adalah mencari dan menemukan format gerakan pembauran di Indonesia yang setepat-tepatnyanya. Setelah format itu ia temukan, yaitu berbaur tuntas lewat Islam, maka Pak Junus telah melewati periode ekperimen. Ia kini memasuki periode pemantapan pola kerja. Untuk itu ia memerlukan sarana dan orang-orang yang dipersiapkan sebagai kader.

Suatu hari Pak Junus memberi kabar kepada saya bahwa “markas” Lautze akan menjadi mesjid. Saya kaget bukan kepalang, tapi itu suatu fakta. Maka shalat Jumat pertama pun dipersiapkan, dan saya diminta untuk menjadi khatib yang pertama. Sementara itu pada shalat  Jumat pertama itu saya melihat “kader” Pak Junus sudah mulai muncul seperti Ali Karim, Linggo, dan Syarif.

Masjid Lautze diperluas, kegiatan makin beragam, kader juga makin banyak. Saya makin jarang datang ke Lautze karena lalu lintas di Jakarta makin macet, kadang-kadang timbul rasa enggan bepergian jauh dari rumah. Tetapi kontak per tilpon dengan Pak Junus masih tetap berlangsung. Saya bergembira bahwa pada usia Pak Junus yang ke-70 apa yang disemainya sejak awal tahun 1950an kini mulai berputik dan berbuah. Semoga Allah memberi usia yang panjang kepadanya, serta keberkahan senantiasa menyertainya.



Jakarta, 23 Ramadhan 1417H