Ini peristiwa “luar biasa”, kata
Ny. Haji Qomariah. Wanita ini, 35 tahun, yang dulu dikenal dengan nama The Giok
Sin, berbicara di depan peringatan Isra Mi’raj di gedung bekas Sin Ming Hui
Jakarta pekan lalu.
Yang diucapkan tak meleset, meskipun
peringatan keagamaan bukan baru kali ini diselanggarkan oleh PITI (dikenal
sebagai organisasi “Tionghoa Islam”) tapi malam itu luar biasa yang hadir.
Undangan diharapkan 400 orang datang, yang muncul sampai 1000. Mungkin karena
malam itu PITI bekerja sama dengan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa
(BAKOM PKB) – yang bergerak menjalin hubungan antara kalangan “pribumi” dengan
“non pribumi”.
Bukan kebetulan bila di sana
hadir K. Sindhunata, Ketua BAKOM PKB. Walaupun ia seorang Nasrani, namun lebih
dari itu cukup simbolis bahwa di tengah-tengah acara itu Nampak seorang tokoh
asimilasi terkenal, Junus Jahja, Sarjana ekonomi lulusan Rotterdam.
APA SUNGGUH?
Di tahun 1952 Junus Jahja,
sewaktu masih di Negeri Belanda mulai mempraktekan cita-cita asimilasinya
secara langsung : ia seorang penasihat Presidium Chung Hwa Hui (CHH),
menganjurkan agar organisasi keturunan Tionghoa yang terpisah itu dibubarkan.
Para anggotanya ia anjurkan masuk Persatuan Pelajar Indonesia. Ia sendiri sejak
berdirinya PPI setahun sebelumnya sudah menjadi anggota, bersama Soemantri
Brodjonegoro almarhum. “saya sepenuhnya diterima dan diperlakukan 100% sebagai
sesama orang Indonesia” kata Junus, yang waktu itu bernama Lauw Chuan Tho
mengenang masa muda.
Keyakinan demikian pula yang
mendorong Chuan Tho 17 tahun yang lalu sudah mengganti namanya menjadi Junus
Jahja. “saya tidak tahu kenapa saya pilih nama Islam itu”, tutur Junus kini.
Apa pun sebabnya, Junus Jahja tak berhenti menambah data baru dalam riwayat
hidupnya. Dua pekan lalu, dalam usia 52 tahun ia masuk Islam di Mesjid
Al-Azhar- Jakarta.
Dari seorang Junus Jahja, yang
sering melompat jauh dalam gagasan asimilasinya, langkah seperti itu tak
terlalu mengejutkan. Tapi tak urung masuk Islamnya seorang terpelajar seperti
dia yang semula beragama Protestan “tapi tak aktif” – menimbulkan keraguan.
Karena pengaruh zaman Belanda dulu, Islam di kalangan “non pri” yang
berpendidikan Barat dianggap agama “kelas tiga”. Untuk pembauran di kalangan
elite masa itu jalan nya ialah dengan masuk agama Katolik atau Protestan. Maka
menurut cerita Junus, kini dari beberapa teman intelektualnya ada semacam
sindiran kepadanya : apa dia sungguh-sungguh? Bahkan ada pertanyaan : adakah ia
masuk Islam untuk asimilasi belaka?
Diterima jadi tokok berperhatian
kepada Islam antara lain melalui Muljoto – anak almarhum Muljadi Djojomartono,
Menteri sosial di zaman pemerintahan Bung Karno yang tokoh Muhammadiyah.
Muljoto adalah teman sekolahnya yang erat sejak di negeri Belanda. Kini ia jadi
Presiden Direktur Bank Ekspor-Impor, sedang Junus bekerja di sebuah bank
Jerman.
Meskipun Junus menyatakan bahwa
orang “ jangan masuk Islam hanya karena untuk Asimilasi “ , tapi tampaknya
badan seperti BAKOM PKB berharap
bahwa persamaan agama akan memudahkan pembauran. Itulah sebabnya malam itu
mereka ikut aktif. Dalam praktek, tentu saja, persamaan agama tak dengan
sendirinya melenyapkan jurang prasangka rasial.
Agama Islam sendiri memang
mengajarkan persaudaraan. Bilal yang bekas budak Negro diterima jadi tokoh Islam
penting dalam sejarah – satu adegan film The
Message yang mengharukan Junus Jahja. Nabi Muhammad s.a.w sendiri berkata
agar orang jangan segan mencari ilmu biarpun sampai ke negeri Cina. Dan di
“negeri Cina “ sendiri terdapat banyak orang Islam – bahkan baru baru ini
pemerintah RRC bermaksud membiayai pencetakan Qur’an kembali setelah golongan komunis radikal runtuh. Tapi
tidak terbatasnya Islam hanya buat “pri” saja agaknya masih perlu waktu untuk
dijadikan kesadaran umum.
Syarief Hidayatullah , yang sudah
10 tahun jadi muslim dan kini mubaligh PITI, masih sering diejek “Adul” – satu
ejekan buat keturunan Cina yang masuk Islam. “Sakit rasanya di kuping,” kata
Syarief dulu bernama Lauw Sin Hoat. Pengorbanan lain lazim datang dalam bentuk keterpisahan
dengan keluarga. Pheng She Djiang, mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an
kelahiran Malang yang pernah berhasil dalam urutan juara MTQ tingkat propinsi,
masuk Islam 10 tahun yang lalu. Waktu itu orang tuanya menentang. “ Padahal
saya masih membutuhkan kasih sayang mereka,” kata Djiang yang kini baru 24
tahun. “Sedih sekali rasanya.”
Sulitnya, pengorbanan sedemikian
sering tak disadari kalangan Islam “pri” – yang umumnya jadi muslimin karena
orang tua mereka , dan biasanya lupa bahwa agama justru penting dalam mengatasi
kesempitan sukuisme atau rasialisme
( Tempo , 14 Juli 1979 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar