15 Januari 2014

ISLAMISASI – ASIMILASI

Ini peristiwa “luar biasa”, kata Ny. Haji Qomariah. Wanita ini, 35 tahun, yang dulu dikenal dengan nama The Giok Sin, berbicara di depan peringatan Isra Mi’raj di gedung bekas Sin Ming Hui Jakarta pekan lalu.

Yang diucapkan tak meleset, meskipun peringatan keagamaan bukan baru kali ini diselanggarkan oleh PITI (dikenal sebagai organisasi “Tionghoa Islam”) tapi malam itu luar biasa yang hadir. Undangan diharapkan 400 orang datang, yang muncul sampai 1000. Mungkin karena malam itu PITI bekerja sama dengan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB) – yang bergerak menjalin hubungan antara kalangan “pribumi” dengan “non pribumi”.

Bukan kebetulan bila di sana hadir K. Sindhunata, Ketua BAKOM PKB. Walaupun ia seorang Nasrani, namun lebih dari itu cukup simbolis bahwa di tengah-tengah acara itu Nampak seorang tokoh asimilasi terkenal, Junus Jahja, Sarjana ekonomi lulusan Rotterdam.

APA SUNGGUH?
Di tahun 1952 Junus Jahja, sewaktu masih di Negeri Belanda mulai mempraktekan cita-cita asimilasinya secara langsung : ia seorang penasihat Presidium Chung Hwa Hui (CHH), menganjurkan agar organisasi keturunan Tionghoa yang terpisah itu dibubarkan. Para anggotanya ia anjurkan masuk Persatuan Pelajar Indonesia. Ia sendiri sejak berdirinya PPI setahun sebelumnya sudah menjadi anggota, bersama Soemantri Brodjonegoro almarhum. “saya sepenuhnya diterima dan diperlakukan 100% sebagai sesama orang Indonesia” kata Junus, yang waktu itu bernama Lauw Chuan Tho mengenang masa muda.

Keyakinan demikian pula yang mendorong Chuan Tho 17 tahun yang lalu sudah mengganti namanya menjadi Junus Jahja. “saya tidak tahu kenapa saya pilih nama Islam itu”, tutur Junus kini. Apa pun sebabnya, Junus Jahja tak berhenti menambah data baru dalam riwayat hidupnya. Dua pekan lalu, dalam usia 52 tahun ia masuk Islam di Mesjid Al-Azhar- Jakarta.

Dari seorang Junus Jahja, yang sering melompat jauh dalam gagasan asimilasinya, langkah seperti itu tak terlalu mengejutkan. Tapi tak urung masuk Islamnya seorang terpelajar seperti dia yang semula beragama Protestan “tapi tak aktif” – menimbulkan keraguan. Karena pengaruh zaman Belanda dulu, Islam di kalangan “non pri” yang berpendidikan Barat dianggap agama “kelas tiga”. Untuk pembauran di kalangan elite masa itu jalan nya ialah dengan masuk agama Katolik atau Protestan. Maka menurut cerita Junus, kini dari beberapa teman intelektualnya ada semacam sindiran kepadanya : apa dia sungguh-sungguh? Bahkan ada pertanyaan : adakah ia masuk Islam untuk asimilasi belaka?
Diterima jadi tokok berperhatian kepada Islam antara lain melalui Muljoto – anak almarhum Muljadi Djojomartono, Menteri sosial di zaman pemerintahan Bung Karno yang tokoh Muhammadiyah. Muljoto adalah teman sekolahnya yang erat sejak di negeri Belanda. Kini ia jadi Presiden Direktur Bank Ekspor-Impor, sedang Junus bekerja di sebuah bank Jerman.

Meskipun Junus menyatakan bahwa orang “ jangan masuk Islam hanya karena untuk Asimilasi “ , tapi tampaknya badan seperti BAKOM PKB berharap bahwa persamaan agama akan memudahkan pembauran. Itulah sebabnya malam itu mereka ikut aktif. Dalam praktek, tentu saja, persamaan agama tak dengan sendirinya melenyapkan jurang prasangka rasial.

Agama Islam sendiri memang mengajarkan persaudaraan. Bilal yang bekas budak Negro diterima jadi tokoh Islam penting dalam sejarah – satu adegan film The Message yang mengharukan Junus Jahja. Nabi Muhammad s.a.w sendiri berkata agar orang jangan segan mencari ilmu biarpun sampai ke negeri Cina. Dan di “negeri Cina “ sendiri terdapat banyak orang Islam – bahkan baru baru ini pemerintah RRC bermaksud membiayai pencetakan Qur’an kembali  setelah golongan komunis radikal runtuh. Tapi tidak terbatasnya Islam hanya buat “pri” saja agaknya masih perlu waktu untuk dijadikan kesadaran umum.

Syarief Hidayatullah , yang sudah 10 tahun jadi muslim dan kini mubaligh PITI, masih sering diejek “Adul” – satu ejekan buat keturunan Cina yang masuk Islam. “Sakit rasanya di kuping,” kata Syarief dulu bernama Lauw Sin Hoat. Pengorbanan lain lazim datang dalam bentuk keterpisahan dengan keluarga. Pheng She Djiang, mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an kelahiran Malang yang pernah berhasil dalam urutan juara MTQ tingkat propinsi, masuk Islam 10 tahun yang lalu. Waktu itu orang tuanya menentang. “ Padahal saya masih membutuhkan kasih sayang mereka,” kata Djiang yang kini baru 24 tahun. “Sedih sekali rasanya.”

Sulitnya, pengorbanan sedemikian sering tak disadari kalangan Islam “pri” – yang umumnya jadi muslimin karena orang tua mereka , dan biasanya lupa bahwa agama justru penting dalam mengatasi kesempitan sukuisme atau rasialisme




                                                                                    ( Tempo , 14 Juli  1979 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar