Photo di atas adalah perbincangan mantan Komandan Brigif 1 Kodam V Jaya
Kolonel A Latief di era pemerintahan Presiden Soekarno dengan Brigjen TNI (Pur)
Ibrahim Saleh anggota DPR RI fraksi ABRI/TNI-POLRI “tokoh interupsi” yang
dikenal dengan Jendral Bo’ink disampaikan pada saat sidang umum MPR, Kamis 9
Maret 1988 yang menggegerkan suasana rapat paripurna yang baru saja secara
aklamasi meminta Soeharto kembali menjabat Presiden RI periode 1988 – 1992.
Akhirnya Jendral Bo’ink dikeluarkan dari fraksi ABRI, padahal waktu itu ia
dicalonkan sebagai Gubernur Sumatera Selatan menggantikan Sainan
Sagiman.
Pertemuan Kolonel A
Latief (berkaos) dan Bridgen TNI (Pur) Ibrahim Saleh, saya (H.R. Sudrajat) yang
mensponsori bersama komandan CPM jaya Kapten TNI Adisuro, pertemuan keduanya
dilakukan di ruang tengah / ruang tamu penjara (lembaga pemasyarakatan/LAPAS)
Cipinang, Jakarta Timur. Terlihat pertemuan keduanya sangat bersahabat dan
akrab serta wajah yang sumringah. Kolonel Latief bernostalgia serta
menceritakan perjalanan hidupnya yang dijebloskan ke dalam penjara oleh
sahabatnya sendiri Soeharto, ia mangatakan : padahal saya menyadari betul tidak
melakukan apapun, saya ditangkap di Bendungan Hilir tanggal 2 Oktober 1965
Jakarta Pusat. Selanjutnya dijebloskan di sel isolasi berat (dobel pintu) dan
terkunci terus di blok N penjara Salemba selama 10 tahun dari 11 Oktober 1965
s/d 1975. Berdasarkan keputusan sidang mahkamah militer tinggi (Mahmilti) II
Jawa bagian barat tanggal 9 Mei 1978 saya di vonis hukuman mati tapi kemudian
mendapat grasi dari Soeharto hukuman saya diubah dari hukuman mati
menjadi hukuman seumur hidup.
Seingat saya waktu
persidangan itu tidak ada yang membela saya, namun akhirnya saya bersama Sdr.
Yap Thiam Hien, SH membuat pleidoi sebanyak 200 halaman di penjara Cipinang
dimana waktu itu Yap di penjara karena perisiwa “Malari” pada 15 Januari 1974.
Dalam pledoi saya
jelaskan dan tegaskan bahwa dua hari menjelang 1 Oktober 196t, saya berserta
keluarga datang ke rumah keluarga jendral Soeharto di Jalan H. Agus Salim,
Jakarta Pusat. Dengan maksud di samping acara kekeluargaan juga “menanyakan
dengan adanya info dewan jendral sekaligus melaporkan kepada beliau”.
Oleh beliau sendiri justru memberitahukan kepada saya “bahwa sehari
sebelum saya datang ke rumah beliau, ada seorang bekas anak buahnya berasal
dari Yogya bernama Subagyo, memberitahukan tentang adanya info dewan jendral
angkatan darat yang akan mengadakan coup de’tat terhadap kekuasaan pemerintahan
Presiden Soekarno”.
Tanggapan beliau akan
di adakan penyelidikan , ternyata kejadian 30 September 1965 selanjutnya saya
nyatakan dalam pledoi bahwa Pak Harto, Ibu Tien Soeharto, orang tua Ibu Tien
Soeharto Bapak KPH. Soemoharjomo dan Ibu Soemoharjomo sebenarnya apa yang akan
terjadi pada 30 September 1965 berarti beliau beliau turut terlibat G30 S/PKI.
Kemudian Kolonel Latief
menyerahkan satu bendel berkas pledoi kepada saya dengan mengucapkan “Pak
Drajat saya serahkan berkas pledoi yang saya susun bersama Sdr. Yap Thiam Hien
, SH untuk dipelajari dan diberikan anak cucu dan teman teman yang dekat dengan
Pak Drajat”.
Kalau dipikir Let Kol
Untung Komandan Resimen Cakrabirawa, waktu menikah di Gombong, Kebumen, Jawa
Tengah yang menikahkan Pak Harto dan beliau waktu itu juga hadir untuk turut
merayakan pesta perkawinannya itulah yang namanya politik.
Ketika saya mau pamit
pulang dihadapkan Brigjen TNI (pur) Ibrahim Saleh saya katakan “Pak Latief
tolong yang sabar, insya allah nanti anda dibebaskan”, jawab beliau “ apakah
mungkin pak”. Bila Allah menghendaki semua mungkin terjadi.
Ternyata di era
Presiden B.J Habiebie tanggal 25 Maret 1999 beliau mendapat grasi dan
dibebaskan, namun beliau baru benar - benar bebas keluar dari penjara Cipinang
beberapa hari setelah Presiden Gus Dur. Kolonel A Latief meninggal di RS Kodrat
Karawaci Tangerang pada Rabu 6 April 2005, jenazah dimakamkan di TPU Jeruk
Purut Jakarta Selatan. “selamat jalan kawan”.