Biodata ini saya buat untuk menjawab
pertanyaan yang sering disampaikan oleh cucu pertama saya R.R. Rizki Eka Puspita,
pertanyaannya : “ Apa kegiatan saya dari muda sampai sekarang ini, dan apa hubungan kegiatan
saya dengan kumpulnya anak-anak Cina dengan anak bangsa Indonesia asli yang
terdapat pada album photo-photo dokumentasi yang saya simpan?”.
Nama
lengkap saya H.R. Sudradjat
Brotokuntjoro, lahir di Jogyakarta, 12 September 1941 putra seorang wartawan
senior Jawa Tengah R. Amir Soemadi Brotokuntjoro, dilahirkan di kediaman eyang
Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Tjokrokoesoemo di Cokrokusuman, Jetis 6
No.191 Jogyakarta. Sekarang saya tinggal di Taman Wisma Asri Blok. A.5 No.42
Jln. Salak Raya RT.001 / 013, Teluk Pucung, Bekasi Utara, Kota Bekasi –
17121.
Saya menikah dengan R.R. Sri Suryati yang lahir pada 30 September 1945, putri pertama dari Wakil Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saya menikahinya tanggal 30 September 1967, dan hari pernikahan tersebut sekaligus merupakan hari Ulang Tahunnya. Dari pernikahan saya tersebut. oleh Allah SWT saya dikaruniai 4 (empat) orang putri, yakni :
Putri
pertama (sulung), R.R. Sri Hastuti
menikah dengan Hendra Sunata seorang Cina, Kepu, Jakarta Pusat sebagai Muallaf
dimana waktu menyatakan memeluk Islam dengan mengucapkan Kalimat Syahadat
dipimpin oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Hasan Basri (Alm). Dari
pernikahannya lahir 2 (dua) orang putri R.R. Rizki Eka Puspita dan R.R. Vyrana
Hendrastuti. Kelak saya mengharapkan rizki menjadi seorang pengusaha yang
sukses dan vyrana menjadi pejabat Negara yang tangguh dan jujur.
Putri
kedua, R.R. Sri Kuswardjati menikah dengan
Gatot Yuono, SH yang merupakan anggota POLRI, dari pernikahannya lahir 2 (dua)
orang putra : R. Vicky Yudistira Yuono dan R. Novario Wibisono Yuono. Saya
menginginkan kelak agar kedua cucu ini menjadi Jenderal TNI-AD dan Jenderal
Polisi.
Putri
ketiga, R.R. Kuswardani menikah dengan Heri Satyana
Sigit Alumnus Universitas Diponegoro Semarang, dari pernikahannya lahir 2 (dua)
orang putra R. Raihan Dafa Widura dan R. Fauzan Hilmi Wibawa. Saya sangat
mengharapkan kelak mereka kedua-duanya menjadi Pejabat Tinggi Negara dan Tokoh
Islam.
Putri
keempat (bungsu), R.R. Indriati
Amalia menikah dengan Indra Pradana, putra Kolonel (Pur) TNI-AU dari
pernikahannya lahir seorang putri R.R. Keyzia Loveli Amalia Pradana. Saya
mengharapkan kelak cucuku ini menjadi tokoh ekonom yang handal di Indonesia.
Pada tahun 1959 di Semarang saya turut
mengadakan rasialis (anti Cina) yang dilakukan oleh teman - teman semarang,
saya dan teman-teman ditangkap oleh Kepolisian dan akhirnya dalam persidangan
di Pengadilan Negeri Semarang saya dijatuhi hukuman 1 tahun 2 bulan masa
percobaan.
Untuk diketahui oleh semua anak
bangsa, ketika saya bersama teman - teman semarang. Kami membentuk Gerakan Anti
Tjiina (Geranat), tiba-tiba Bung Karno Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) yang rasialis yaitu PP. No.10 tahun 1959 yang isinya
: “Agar Cina-Cina tidak berdagang di
Kecamatan dan Cina-Cina asing harus keluar dari Indonesia”. Banyak
Cina-Cina yang tidak diterima di negara lain karena tidak memiliki
kewarganegaraan.
Maka terjadi warga negara stateless di
Indonesia, sehingga sering terjadi anti Cina. Di Tangerang tahun 1962 terjadi
anti cina, di Tangerang belum reda pada tgl. 10 Mei 1963 terjadilah peristiwa
anti cina paling besar dimulai dari Jawa Barat yaitu Bandung, Sukabumi, Bogor
dan sekitarnya, rumah-rumah Cina habis dibakar.
Peristiwa ini merembet ke Jawa Tengah
khususnya dari Semarang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Solo dan Jogya. Di
Semarang saya bersama Kusni Kasdut menghancurkan rumah dan kehidupan cina-cina
di kota-kota. Saya lalu ditangkap Kepolisian dan oleh Kepala Pengadilan Negeri
Semarang (Hakim Wuryanto, SH) saya dijatuhi hukuman selama 2 tahun masa percobaan.
Wuryanto, SH adalah kelompok dari
orang PNI Marhain. Beliau memiliki
kelompok tertentu yaitu orang-orang PNI Marhain yang selalu mengadakan
pertemuan rutin setiap sebulan sekali, dalam pertemuan itu selalu hadir Hadi
Subeno Sastrowardoyo, Muhammad Isnaini (PNI), R. Amir Soemadi Brotokuntjoro
(ayahku sendiri) sebagai wartawan, Burhan wartawan dan tokoh PNI Coa Cie Liang
wartawan, Un Cien liong pengusaha rokok kretek dan Kwik Hway Gwan ayah Kwik
Kian Gie mantan pejabat Republik Indonesia.
Keluar dari Pengadilan Negeri Semarang
saya sudah ditunggu oleh Oei Tjo Iem diminta untuk memperkuat lembaga
asimilasi, langsung diajak seminar di Bandungan, Ambarawa, saya ditunjuk
sebagai Kepala Bidang Riset dan Dokumentasi bersama Bapak Suwono.
Belum lama saya di Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa (LPKB) Semarang saya dipanggil oleh Bp. Kwik Hway Gwan ayah Bp.
Kwik Kian Gie (Mantan Pejabat Negara) agar saya segera berangkat ke Jakarta
untuk menemui Bp. Sindhunata, SH Kepala LPKB Pusat dan Bung Karno.
Kebetulan LPKB Pusat sedang diresmikan
sebagai lembaga negara non departemen dibawah “Kompartimen Perhubungan dengan
rakyat” dibawah Menteri Koordinator Hubungan Rakyat Dr. H. Roeslan Abdulgani,
lembaga ini adalah lembaga asimilasi yang diciptakan oleh Bung Karno pada
tanggal 15 Juli 1963, jadi LPKB ini adalah lembaga resmi pemerintah.
Tokoh Asiomilasi eks Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa (LPKB) Sindhunata, SH, dibantu Hari Tjan Silalhi, SH (CSIS), H.
Prasasto Sudjatmiko, SH, Ny. Titi Oen King Nio (Isteri dr. Pieter Sumbung),
H.R. Sudradjat Brotokuntjoro (konsultan), Slamet Sukirnanto (Budayawan), Lukman
Setiawan (Majalah Tempo), Alit Wijaya (Pejabat Negara), M. Indradi Kusuma, SH
(akademisi), Safder Yusack (Mantan Sekjen Depdagri), Hilman, Drs. Sofyandi
Mangkudilaga (Universitas Indonesia) DR. Drs. Moh. Budyatna, MA, Drs. Usman
Affan (Pejabat Negara), Oei Tjo Iem (Pengacara), Drs. Cosmas Batubara, Prof. Dr. JE. Sahetapy, SH, Moh. Anis Ibrahim, Lie Bian Kie, Junus Yahya,
Noto Budimulia, Wignyosumarsono, TA Harjanegara, Soe Hok Gie, Lie King Han, Ir.
Kwik Kian Djien.
Di LPKB Pusat saya sebagai Kepala
Bidang Riset dan Dokumentasi bersama Soe Hok Gie dan Drs. Sofyandi
Mangkudilaga, dari sinilah saya mulai kiprah politik masuk Komando Operasional
Tertinggi (KOTI) dibawah pimpinan Brigjen Sutjipto, SH.
Selanjutnya oleh Pak Tjipto saya
diperintahkan masuk Badan Pusat Intelejen (BPI) dibawah pimpinan Brigjen
Sutarto, karena pendapat dari perwira tinggi ini saya diminta masuk sebagai
wartawan agar penyusupan orang-orang Cina untuk di asimilasikan lebih cepat.
Belum lama kiprah melaksanakan tugas
dalam organisasi ini terjadilah Gerakan 30 September 1965 (G.30 S / PKI),
sehingga cita-cita Bung Karno dalam mengemban asimilasi gagal total.
Kemudian pada tahun 1966 tokoh-tokoh
asimilasi sesuai cita-cita Bung Karno mencoba lagi melalui Peristiwa Apel
Siaga, yaitu apel besar kesetiaan orang-orang Cina kepada Nusa dan Bangsa
Indonesia, apel siaga ini dilaksanakan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat
dimana sebagai Ketua Panitia Apel Siaga Kwe Eng Oen, Sekretaris Sudradjat Brotokuntjoro
dan Kam Lok Ju serta Bendahara Noto Budimulia.
Panitia apel siaga mengundang
tokoh-tokoh nasional, dari Front Nasional yang dipimpin H. Subhan ZE, dari
Kersatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
dihadiri oleh Drs. Cosmas Batubara, dari Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
dihadiri oleh Fachmi Idris dan dihadiri oleh ribuan keturunan cina, setelah
selesai orasi seluruh peserta beramai-ramai dari Lapangan Banteng menuju ke
Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina (RRC).
Sejak saat itu tidak ada lagi
sekolah-sekolah yang memakai nama Cina, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai
Sekolah Menengah Atas semua diberi nama Sekolah Bhineka Tunggal Ika.
Universitas Baperki berdiri tahun 1958
selanjutnya pada tahun 1962 namanya dirubah menjadi Universitas Res Publica disingkat
Ureca milik Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dihancurkan
oleh mahasiswa, Bung Karno minta agar gedung Universitas Res Publica dibangun
kembali namun Pemerintah tidak mempunyai dana (uang). Oleh karena itu Ketua
LPKB Pusat K. Sindhunata, SH dibantu oleh Ferry Sonneville dan Frits Amelens membentuk yayasan untuk
mencari uang guna membangun kembali gedung Universitas Res Publica, yayasan itu
diberi nama oleh Bung Karno “Yayasan Trisakti”, dan nama Universitas
Res Publica dirubah menjadi “Universitas Trisaksi” tahun 1965 disingkat Usakti .
Ini semua bentuk asimilasi yang samar-samar. Peristiwa ini semuanya mengendap.
Pada tahun 1970 terjadi lagi peristiwa
anti Cina di Bandung, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sangat risau, khawatir
peristiwa ini merembet sampai ke Jakarta.
Kemudian pada tanggal 15 Januari 1974
terjadi lagi peristiwa anti Cina besar-besaran
yang dikenal dengan “Peristiwa
Malari” menolak kedatangan ahli Jepang Tanaka ke Indonesia, Pasar Senen,
Jakarta Pusat, gedung-gedung milik perusahaan Jepang dibakar massa, kenyataan peristiwa tersebut adalah gerakan
anti Cina, banyak keturunan Cina yang dipukuli massa, selanjutnya Gubernur DKI
Jakarta Ali Sadikin membentuk suatu
badan study yang diberi nama Badan Pembina Kesatuan Bangsa (BPKB) tgl. 8
Agustus 1974 beranggotakan 12 (dua
belas) orang, dipimpin oleh Wiryadi, SH. Tugas BPKB ini lebih praktis “mengembangkan
kondisi masyarakat Jakarta ke arah tercapainya pembauran, disamping
merencanakan dan memberikan pengarahan terhadap pelaksanaannya”.
Para tokoh-tokoh asimilasi menghadap
pak Ali Sadikin agar Pasar Senen dibangun kembali, para pedagangnya harus
berbaur dari berbagai suku bangsa / keturunan baik Jawa, Sunda, Batak, Padang
dan semua keturunan Cina dan bangsa lain.
Sejak itu perintah pak Harto untuk menanggulangi
agar tidak ada lagi anti Cina, maka pada tanggal 28 Oktober 1978 dibentuklah
Badan Semi Pemerintah yaitu Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa
disingkat Bakom PKB., diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud, di
tingkat Pusat diketuai oleh K. Sindhunata, SH dan di tingkat DKI Jakarta di
ketuai H. Prasasto Sujatmiko, SH.
Kepala Kantor Bakom PKB Pusat dan
Bakom PKB DKI Jakarta di Jalan Srikaya No.6
Menteng, Jakarta Pusat dipimpin oleh Sudradjat Brotokuntjoro.
Tokoh Asimilasi / Pembauran eks Bakom
PKB Pusat 28 Oktober 1978 : Harry Tjan Silalahi, SH, H. Prasasto Sujatmiko, SH,
H.R. Sudradjat Brotokuntjoro, M. Indradi Kusuma, Slamet Sukirnanto, Drs. H. Ridwan
Saidi, Ir. Siswono Yudhohusodo, Ir. ST. Wartono, DR. Drs. Budyatna, MA, Drs.
Suwarno, Drs. Kwik Kian Gie, Tjipta Lesmana, SH.
Sudah berdiri Bakom PKB Pusat namun
pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat rahasia resmi
yang isinya : “orang-orang keturunan Cina dengan orang pribumi dengan status
KTP keturunan Cina dalam KTPnya diberi kode tanda keturunan asing, keturunan
Cina harus memiliki Form K1-Surat Keterangan Kewarganegaraan Indonesia (SKKRI) ,
Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) “, meskipun orang-orang
ini dilahirkan oleh orang keturunan Cina yang memiliki Kewarganegaraan
Indonesia yang sah.
Surat-surat tersebut wajib dimiliki
untuk mengurus : akte kelahiran, sekolah, KTP, perkawinan, pasport, Surat Izin Usaha dan lain-lain. Hal ini yang
tidak diduga sama sekali bahwa tangan kanan Amir Mahmud membentuk Lembaga Badan
Pembauran, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan instruksi rahasia yang sangat
rasialis.
Pada suatu waktu saya Sudradjat Brotokuntjoro,
Slamet Sukirnanto anggota Bakom PKB DKI Jakarta dan H. Syu’bah Asa tokoh
wartawan Tempo, bicara mengenai masalah instruksi rahasia Menteri Dalam Negeri
tersebut, Syu’bah Asa mengatakan ini akan ada Peringatan Maulid Nabi, bagaimana
kalau peringatan ini diselenggarakan oleh Bakom PKB Pusat bekerjasama dengan
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), selanjutnya kami bertiga sepakat
untuk menghadap Bp. H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien karena beliau kita anggap
sebagai sesepuh PITI dan anggota Penyantun Bakom PKB Pusat. Pertemuan ini
dilaksanakan di kediaman Bp. H. Abdul Karim Oei Jln. Tomang Raya No.18 Jakarta
Pusat.
Pak Karim menyatakan bahwa Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sudah dibubarkan oleh Kejaksaan Agung tahun
1972, atas prakarsa kami dirumah pak Karim membentuk PITI Baru dengan nama
Pembina Iman Tauhid Islam, malam itu juga diputuskan Pengurus PITI Baru dengan
Ketua Ibrahim, Sekretaris H. Good Wahyudi, Bendahara Jeffrey Rizal Salim
dibantu Hong Semi Koto lengkaplah sekarang PITI bersama Bakom PKB Pusat
menyelenggarakan Peringatan Maulid Nabi bertempat di Gedung Stovia tangal 11
Maret 1973 Jln. Kwini, Jakarta Pusat.
Dalam peringatan tersebut hadir K.
Sindhunata, SH sebagai pembicara, kemudian Direktur Jenderal Bimas Islam Mayor
Jenderal Burhani Tjokrohandoko, kemudian Prof. Dr. Hamka, hadir pula tokoh
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Drs. H. Ridwan Saidi dan teman-teman, Drs.
H. Sutrisno Mukdam (Muhammadiyah), Prof. Musa Machfud (Universitas Gajah Mada).
Tidak disangka bahwa dalam peringatan akbar tersebut banyak orang-orang Cina
Islam turut menghadiri.
Dari hasil Peringatan Maulid Nabi di
Gedung Stovia ini maka makin berkembanglah dakwah Islamiyah dikalangan
keturunan Cina. Mula-mula kami membuat rudal dimana Drs. H. Yunus Yahya, ekonom
alumnus Rotterdam masuk islam di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dengan masuk Islamnya Yunus Yahya
menulis pada Kartu Pos dengan Ucapan Mohon Do’a Restu dan dikirimkan
kepada para Pejabat Negara, Kementerian Hankam, Lemhanas, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), selanjutnya ucapan ini diberikan tanggapan yang sangat positif
dari Para Pejabat Negara.
Kemudian Drs. Moh. Budyatna, MA dan Drs. Ahmad Setiawan Abadi,
MA masuk Islam, keduanya adalah tokoh komunikasi Universitas Indonesia (UI), dengan
ketiga rudal tersebut dilepas sebagai bola dakwah sehingga banyak orang-orang
keturunan Cina masuk Islam.
Tokoh Asimilasi dan Islamisasi eks
Stovia tgl. 11 Maret 1979 : H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien (Alm), H. Syu’bah Asa
(Alm), H. Slamet Sukirnanto, H.R. Sudradjat Brotokuntjoro.
Hampir setiap hari ada acara
pengislaman antara lain di Masjid Agung Al Azhar, kediaman Buya Hamka, Masjid
Agung Sunda Kelapa dan Gedung Candranaya di Jl.
Gajahmada, Jakarta Pusat.
Lalu timbul proyek anak angkat / anak
asuh oleh Mayor Jenderal Sudarsono Mertopawiro, KH. Muttaqien di Bandung, lalu
ada kontak bisnis yang dipimpin oleh Dr. Antonio Syafei (Ahli syariah).
Karena banyak keturunan Cina yang
masuk Islam dan disebar luaskan oleh wartawan ibu kota antara lain Majalah
Tempo edisi no.26 Thn X. 23 Agustus 1980 “Orang Islam Keturunan Cina”, dan juga
wartawan Harian Terbit H. Anas Nazar, wartawan Harian Berita Buana Ismail
Wijaya, wartawan Antara khusus memberi dukungan photo-photo.
Karena keturunan Cina sudah banyak
yang masuk Islam maka kami mendirikan Kelompok Tujuh, dimana ketika kelompok
berdiri telah mengislamkan sebanyak 61 orang keturunan Cina, berita ini
disebarkan Majalah HAI berkat bantuan Arswendo Atmowiloto. Berawal dari
kelompok tujuh berkembang lagi dengan Yayasan Muslim Baru, Yayasan Dakwah,
Yayasan Ukhuwah Islamiah.
Dengan wafatnya Bp. H. Karim Oei Tjeng
Hien maka dibentuklah “Yayasan H. Karim Oei Tjeng Hien” yang dipimpin oleh
putra almarhum H. Muhammad Ali Karim.
Cucuku Rizki ternyata asimilasi ini, semen
pengikatnya adalah Islam yang sejak tahun 1979 hingga sebelum Reformasi dan
setelah Refformasi tidak ada lagi peristiwa anti Cina di Indonesia. Banyak
terjadi asimilasi baik dari pernikahan, perdagangan dan lain-lain sehingga
menjadi kekuatan anak bangsa pemperkokoh kesatuan dan persatuan.
Tentunya Rizki sekarang sudah tahu dan
jelas siapa saya sebenarnya ! yang harus kau maklumi bahwa dimana saja, sedang
apa saja serta kapan saja saya selalu memikirkan asimilasi dan syukur
alhamdulillah berkat ridho Allah SWT cita-citaku tentang asimilasi dapat
tercapai dan terwujud dengan baik dan benar.
Dihari tua saya waktu menulis biodata
ini saya berusia 72 tahun, dengan kegiatan sehari-hari dalam bidang sosial
kemasyarakatan dan keagamaan, dirumah terpampang photo dan tersimpan Album
photo-photo pengislaman keturunan Cina serta tulisan-tulisan pengislaman yang
diliput wartawan ibukota. Saya abadikan dirumah sebagai bentuk museum yang
menyimpan bukti dan fakta sejarah Asimilasi dan Islamisasi.
Mudah-mudahan kelak gerak, langkah dan
tekad yang telah saya jalani dan alami dapat dipakai sebagai suri tauladan anak
cucu serta teman-teman yang meyakini Islam itu dalah Rohmatan Lil ‘Alamin (rahmat
bagi semua makhluk di seluruh alam), merupakan semen perekatnya asimilasi dan
pembauran. Semoga.
Pada kesempatan ini saya mohon maaf
yang sebesar-besarnya apabila ada nama-nama rekan sejawat yang tidak saya
sebut, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, hal tersebut semata-mata
karena keterbatasan saya khususnya dalam hal membaca dan menulis karena faktor
penglihatan saya.
Saya mengucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan
wartawan yang telah aktif membantu meliput serta menyebarluaskan tentang
keturunan Cina masuk Islam dan asimilasi / pembauran serta Islamisasi khususnya
kepada wartawan : Majalah Tempo, Berita Buana, Kompas, Terbit, Pos Kota, Pelita.
Tak lupa terima kasih saya kepada
Rizki Agnes Stiani yang telah membantu menuliskan konsep biodata ini, kepada
Bp. Dharto Suhartono sejawat yang selalu mendampingi dan sekretaris pribadi
yang telah membantu menulis, mengoreksi biodata ini.
Bekasi, 28 Oktober 2013
H.R. SUDRADJAT
BROTOKUNTJORO
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar