15 Januari 2014

PROF. DR.HAMKA : ISTILAH PRIBUMI DAN NON PRIBUMI HANYA ISTILAH YANG DIBUAT ORANG BERDASARKAN POLITIS





Oleh : Dra.Eliza H.D

Penulis sengaja mendatangi salah seorang tokoh agama yang dikagumi oleh banyak pihak ,baik dari golongan Islam maupun yang bukan Islam.Ia sangat disegani,karena amal perbuatannya yang banyak memberikan teladan pada setiap Insan. Begitu ramah dan menonjol sifat kebapakannya yang penuh dengan sinar welas asih sewaktu menyambut kedatangan penulis. Dengan ramah dan suara yang penuh mengandung charisma tersendiri berkatalah Buya Hamka :

Mengenai apa yang ditanyakan pada saya tentang kesatuan dan persatuan bangsa, untuk ini kita harus lebih dahulu memahami makna yang terdapat dalam lambang Negara kita  “ Bhineka Tunggal Ika " Ini kan sudah menunjukkan kesatuan meskipun ia sendiri dari berbagai suku bangsa.

 Hal ini sesungguhnya terjadi karena kuatnya idealisme dari pemuda pemuda dulu yang tergabung dalam Jong Java,Jong Ambon,Jong Sumatera dan lain lain yang bergabung menjadi kekuatan persatuan bangsa Indonesia itu menurut saya ialah dengan kuatnya pula rasa kesukuan,sebab dengan tumbuhnya bangsa Indonesia suku suku bangsa tidaklah sirna ,malah selalu dianjurkan agar bahasa daerah dipelihara baik baik . Seperti contohnya saya sendiri adalah bangsa Indonesia namun berasal dari Minangkabau.

Kita harus mengingat bahwa kekayaan Indonesia juga harus dipandang dari segi kebudayaan yang berada di daerah itu. Setelah 35 tahun kita merdeka ,kekayaan kebudayaan daerah tidak boleh sirna malahan harus bertambah kesuburannya.

Dan mengenai istilah  “Pribumi“  dan “non pribumi"  bagi saya sendiri tidak ada, karena sesuai dengan ajaran agama islam sendiri ,bahwa kita telah menjadi bangsa dimana kita tinggal, bila kita telah beriman dan beramal saleh ditempat tersebut. Istilah ini hanyalah istilah yang dibuat orang berdasarkan perkembangan masyarakat yang ada dan hanya bersifat politis.

Jadi dalam hal ini janganlah kita berpandangan sempit, untuk itu saya anjurkan agar kita mau menerima mereka dengan jiwa yang besar sebagai bangsa kita sendiri. Contohnya saya sendiri, saya sebagai orang Islam akan menerima segala orang yang berniat baik dengan segala senang hati dan sebagai bangsa Indonesia tentu saja kita harus mengingat akan apa yang terpatri dalam falsafah Negara kita. “Pancasila” dimana pada setiap silanya itu menerima juga setiap orang yang meyakini akan falsafah Negara kita.
 
Di sini saya tekankan sekali lagi bahwa istilah pribumi dan non pribumi hanyalah bersifat politis saja. Namun apabila yang disebutkan orang dengan istilah “non pribumi" yang dengan keyakinannya yang rational terhadap dirinya sendiri, bahwa dia sudah dilahirkan di Indonesia, juga akan mati disini dan bermata pencarian disini ,maka dengan keyakinan yang demikian ia bisa menunjukkan bahwa dirinya telah berbakti pada tanah air Indonesia. Gerakan gerakan ini sesungguhnya menurut sejarah yang ada sudah di mulai oleh orang orang yang dinamakan “non pribumi“, sejak 70 tahun yang lampau seperti kita kenal dengan nama “ Gerakan Orang Tionghoa , Gerakan Orang Arab yang lebih dikenal lagi dengan istilah  P.A.I “ , namun tampaknya yang lebih berhasil adalah orang Arab P.A.I ini dikepalai oleh seorang idealis yang bernama A.R Baswedan di Solo. Di sini menyatakan keyakinannya di kalangan orang Arab bahwa kita meskipun berasal dari keturunan Arab, tapi adalah bangsa Indonesia,karena kita hidup dan akan mati serta berpencarian di Indonesia,maka itu kita harus beramal bakti pada Negara Indonesia.Hal ini terbukti setelah kita merdeka dimana golongan ini diminta untuk mendaftarkan diri menjadi warga Negara Indonesia, mereka tak mau dan menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia. Disini jelas kelihatan adanya  suatu keyakinan dalam diri yang telah ditanamkan oleh Baswedan yang pernah juga menjadi salah seorang menteri disalah satu kabinet dalam pemerintahan kita. Juga Ex.Duta Besar “Asha Bafagih” ( yang menjadi duta besar di Srilangka dan Aljazair ) berasal dari keturunan Arab. Yang tampaknya agak lamban adalah dikalangan orang Tionghoa, mungkin jumlah mereka yang lebih besar dan kedua mungkin karena faktor agama. Dalam agama Islam dikatakan “asal kita hidup didunia ini dimanapun kita tinggal, kita harus beramal saleh,” diantaranya ini telah dilakukan oleh orang orang yang telah saya sebutkan, juga termasuk nama Hamid Algadri (orangnya masih hidup) dan menjadi anggota Partai Sosialis.

Bukankah dari Pemerintah kita sendiri sudah ada anjuran agar dari golongan keturunan Tionghoa mengganti nama mereka menjadi misalnya Rudy Hartono, hal ini tak lain supaya mereka menjadi bangsa Indonesia. Dan bahkan sudah sedemikian jauhnya gerakan yang pernah dilakukan oleh Gerakan Orang Tionghoa ini dengan anjuran asimilasi. Penganjur peranakan Tionghoa tentang asimilasi yang telah menukar namanya itu antara lain Junus Jahja, Junus Jahja setelah mengadakan gerakan asimilasi mereka belum yakin akan keberhasilannya, kalau tidak dilandasi dengan jiwa sendiri untuk menjadi orang Indonesia dan untuk ini bahkan Junus Jahja  setelah mengadakan gerakan asimilasi mereka belum yakin akan keberhasilannya, kalau tidak dilandasi dengan jiwa sendiri untuk menjadi orang Indonesia dan untuk ini bahkan Junus Jahja selain melakukan asimilasi, ia sendiri kemudian menjadi seorang pemeluk agama Islam. Dialah yang menjadi pemimpin melakukan gerakan gerakan itu. Ada contoh lain lagi yakni seorang keturunan Tionghoaselain melakukan asimilasi, ia sendiri kemudian menjadi seorang pemeluk agama Islam. Dialah yang menjadi pemimpin melakukan gerakan gerakan itu. Ada contoh lain lagi yakni seorang keturunan Tionghoa yang bernama “Oei Tjeng Hien”  yang bernama “Oei Tjeng Hien” namun dalam tahun 1929 ia masuk Islam, itu terjadi 51 tahun  yang lalu di Bengkulu.

Kemudian setelah Bung Karno Almarhum dipindahkan dari Ende ke Bengkulu, ia bersahabat baik dengan Bung Karno  serta dia merasa dirinya sendiri bangsa Indonesia dan ia melakukan amal baktinya untuk bangsa Indonesia. Sekarang ini ia masih hidup dan setelah gerakan asimilasi dan tidak memakai nama aslinya lagi, tapi sekarang terus mempergunakan nama “Haji Abdul Karim”. 

Jadi orang orang semacam itu dapat dicontoh oleh yang lain dimana jelas sekali dengan kesungguhan yang ikhlas ia mau menyatukan diri dengan bangsa Indonesia. Contoh yang lain lagi : Mas Agung dengan “Gunung Agungnya”, sekarang ia juga menjadi Islam. Kita harus mau meniru orang orang seperti itu dan jangan ragu ragu, sebab tanah air Indonesia amat luas, alamnya terbuka untuk mengisi pengorbanan dan keikhlasan daripada penduduknya, justru pengorbanan itu terbuka untuk semua golongan. 

Jadi jangan kita merasa diri kita kurang dari orang  lain, juga jangan merasa diri kita lebih, sebab Indonesia bukan Negara jajahan lagi, tapi kita semuanya sudah merdeka.

Ingatlah, kalau kita tidak mengadakan persatuan dengan baik, dimana tak terdapat ke insyafan dan masih ragu ragu dalam roda kemerdekaan Indonesia yang berputar terus, kita jangan hanya berdiri di pinggir jalan karena akhirnya yang ragu pasti akan terlindas oleh roda revolusi sendiri. Jadi jelaslah bahwa bagi yang disebutkan orang dengan istilah “non pribumi” janganlah ragu ragu  untuk menunjukkan iman dan mau beramal saleh bagi bangsa dan Negara Indonesia, dan bagi yang menanamkan dirinya “pribumi” harus mau berlapang dada menerima kehadiran mereka, janganlah kita berjiwa sempit, karena orang orang yang telah beriman dan beramal saleh ini adalah juga saudaramu dan bangsamu juga. Ini sesuai dengan lambang “Bhineka Tunggal Ika” serta falsafah Negara kita “Pacasila”.

Sampai disana Buya Hamka mengakhiri ulasannya.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

( Varia Nada No. 444  Awal April 1980 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar