Oleh :
Dra.Eliza H.D
Penulis sengaja mendatangi salah seorang tokoh agama yang dikagumi oleh
banyak pihak ,baik dari golongan Islam maupun yang bukan Islam.Ia sangat
disegani,karena amal perbuatannya yang banyak memberikan teladan pada setiap
Insan. Begitu ramah dan menonjol sifat kebapakannya yang penuh dengan sinar
welas asih sewaktu menyambut kedatangan penulis. Dengan ramah dan suara yang
penuh mengandung charisma tersendiri berkatalah Buya Hamka :
Mengenai apa yang ditanyakan pada saya tentang kesatuan dan persatuan
bangsa, untuk ini kita harus lebih dahulu memahami makna yang terdapat dalam
lambang Negara kita “ Bhineka Tunggal Ika " Ini kan sudah
menunjukkan kesatuan meskipun ia sendiri dari berbagai suku bangsa.
Hal ini sesungguhnya terjadi karena kuatnya idealisme dari pemuda
pemuda dulu yang tergabung dalam Jong Java,Jong Ambon,Jong Sumatera dan lain
lain yang bergabung menjadi kekuatan persatuan bangsa Indonesia itu menurut
saya ialah dengan kuatnya pula rasa kesukuan,sebab dengan tumbuhnya bangsa
Indonesia suku suku bangsa tidaklah sirna ,malah selalu dianjurkan agar bahasa
daerah dipelihara baik baik . Seperti contohnya saya sendiri adalah bangsa
Indonesia namun berasal dari Minangkabau.
Kita harus mengingat bahwa kekayaan Indonesia juga harus dipandang dari
segi kebudayaan yang berada di daerah itu. Setelah 35 tahun kita merdeka
,kekayaan kebudayaan daerah tidak boleh sirna malahan harus bertambah
kesuburannya.
Dan mengenai istilah “Pribumi“ dan “non pribumi"
bagi saya sendiri tidak ada, karena sesuai dengan ajaran agama islam sendiri
,bahwa kita telah menjadi bangsa dimana kita tinggal, bila kita telah beriman
dan beramal saleh ditempat tersebut. Istilah ini hanyalah istilah yang dibuat
orang berdasarkan perkembangan masyarakat yang ada dan hanya bersifat politis.
Jadi dalam hal ini janganlah kita berpandangan sempit, untuk itu saya
anjurkan agar kita mau menerima mereka dengan jiwa yang besar sebagai bangsa
kita sendiri. Contohnya saya sendiri, saya sebagai orang Islam akan menerima
segala orang yang berniat baik dengan segala senang hati dan sebagai bangsa
Indonesia tentu saja kita harus mengingat akan apa yang terpatri dalam falsafah
Negara kita. “Pancasila” dimana pada setiap silanya itu menerima juga setiap
orang yang meyakini akan falsafah Negara kita.
Di sini saya tekankan sekali lagi bahwa istilah pribumi dan non pribumi
hanyalah bersifat politis saja. Namun apabila yang disebutkan orang dengan
istilah “non pribumi" yang dengan keyakinannya yang rational terhadap
dirinya sendiri, bahwa dia sudah dilahirkan di Indonesia, juga akan mati disini
dan bermata pencarian disini ,maka dengan keyakinan yang demikian ia bisa
menunjukkan bahwa dirinya telah berbakti pada tanah air Indonesia. Gerakan
gerakan ini sesungguhnya menurut sejarah yang ada sudah di mulai oleh orang
orang yang dinamakan “non pribumi“, sejak 70 tahun yang lampau seperti kita
kenal dengan nama “ Gerakan Orang Tionghoa , Gerakan Orang Arab yang lebih
dikenal lagi dengan istilah P.A.I “ , namun tampaknya yang lebih berhasil
adalah orang Arab P.A.I ini dikepalai oleh seorang idealis yang bernama A.R
Baswedan di Solo. Di sini menyatakan keyakinannya di kalangan orang Arab bahwa
kita meskipun berasal dari keturunan Arab, tapi adalah bangsa Indonesia,karena
kita hidup dan akan mati serta berpencarian di Indonesia,maka itu kita harus
beramal bakti pada Negara Indonesia.Hal ini terbukti setelah kita merdeka dimana
golongan ini diminta untuk mendaftarkan diri menjadi warga Negara Indonesia,
mereka tak mau dan menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa mereka adalah bangsa
Indonesia. Disini jelas kelihatan adanya suatu keyakinan dalam diri yang
telah ditanamkan oleh Baswedan yang pernah juga menjadi salah seorang menteri
disalah satu kabinet dalam pemerintahan kita. Juga Ex.Duta Besar “Asha Bafagih”
( yang menjadi duta besar di Srilangka dan Aljazair ) berasal dari keturunan
Arab. Yang tampaknya agak lamban adalah dikalangan orang Tionghoa, mungkin
jumlah mereka yang lebih besar dan kedua mungkin karena faktor agama. Dalam
agama Islam dikatakan “asal kita hidup didunia ini dimanapun kita tinggal, kita
harus beramal saleh,” diantaranya ini telah dilakukan oleh orang orang yang
telah saya sebutkan, juga termasuk nama Hamid Algadri (orangnya masih hidup)
dan menjadi anggota Partai Sosialis.
Bukankah dari Pemerintah kita sendiri sudah ada anjuran agar dari
golongan keturunan Tionghoa mengganti nama mereka menjadi misalnya Rudy
Hartono, hal ini tak lain supaya mereka menjadi bangsa Indonesia. Dan bahkan
sudah sedemikian jauhnya gerakan yang pernah dilakukan oleh Gerakan Orang
Tionghoa ini dengan anjuran asimilasi. Penganjur peranakan Tionghoa tentang
asimilasi yang telah menukar namanya itu antara lain Junus Jahja, Junus Jahja
setelah mengadakan gerakan asimilasi mereka belum yakin akan keberhasilannya,
kalau tidak dilandasi dengan jiwa sendiri untuk menjadi orang Indonesia dan
untuk ini bahkan Junus Jahja setelah mengadakan gerakan asimilasi mereka
belum yakin akan keberhasilannya, kalau tidak dilandasi dengan jiwa sendiri
untuk menjadi orang Indonesia dan untuk ini bahkan Junus Jahja selain melakukan
asimilasi, ia sendiri kemudian menjadi seorang pemeluk agama Islam. Dialah yang
menjadi pemimpin melakukan gerakan gerakan itu. Ada contoh lain lagi yakni
seorang keturunan Tionghoaselain melakukan asimilasi, ia sendiri kemudian
menjadi seorang pemeluk agama Islam. Dialah yang menjadi pemimpin melakukan
gerakan gerakan itu. Ada contoh lain lagi yakni seorang keturunan Tionghoa yang
bernama “Oei Tjeng Hien” yang bernama “Oei Tjeng Hien” namun dalam tahun
1929 ia masuk Islam, itu terjadi 51 tahun yang lalu di Bengkulu.
Kemudian setelah Bung Karno Almarhum dipindahkan dari Ende ke Bengkulu,
ia bersahabat baik dengan Bung Karno serta dia merasa dirinya sendiri
bangsa Indonesia dan ia melakukan amal baktinya untuk bangsa Indonesia.
Sekarang ini ia masih hidup dan setelah gerakan asimilasi dan tidak memakai
nama aslinya lagi, tapi sekarang terus mempergunakan nama “Haji Abdul
Karim”.
Jadi orang orang semacam itu dapat dicontoh oleh yang lain dimana jelas
sekali dengan kesungguhan yang ikhlas ia mau menyatukan diri dengan bangsa
Indonesia. Contoh yang lain lagi : Mas Agung dengan “Gunung Agungnya”, sekarang
ia juga menjadi Islam. Kita harus mau meniru orang orang seperti itu dan jangan
ragu ragu, sebab tanah air Indonesia amat luas, alamnya terbuka untuk mengisi
pengorbanan dan keikhlasan daripada penduduknya, justru pengorbanan itu terbuka
untuk semua golongan.
Jadi jangan kita merasa diri kita kurang dari orang lain, juga
jangan merasa diri kita lebih, sebab Indonesia bukan Negara jajahan lagi, tapi
kita semuanya sudah merdeka.
Ingatlah, kalau kita tidak mengadakan persatuan dengan baik, dimana tak
terdapat ke insyafan dan masih ragu ragu dalam roda kemerdekaan Indonesia yang
berputar terus, kita jangan hanya berdiri di pinggir jalan karena akhirnya yang
ragu pasti akan terlindas oleh roda revolusi sendiri. Jadi jelaslah bahwa bagi
yang disebutkan orang dengan istilah “non pribumi” janganlah ragu ragu
untuk menunjukkan iman dan mau beramal saleh bagi bangsa dan Negara Indonesia,
dan bagi yang menanamkan dirinya “pribumi” harus mau berlapang dada menerima
kehadiran mereka, janganlah kita berjiwa sempit, karena orang orang yang telah
beriman dan beramal saleh ini adalah juga saudaramu dan bangsamu juga. Ini
sesuai dengan lambang “Bhineka Tunggal Ika” serta falsafah Negara kita
“Pacasila”.
Sampai disana Buya Hamka mengakhiri ulasannya.
( Varia Nada No. 444 Awal April
1980 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar